===== fiat justitia et pereat mundus =====

Jumat, 24 Desember 2010

PROFESIONALISME, MENTALITAS, DAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT MENUJU TERWUJUDNYA PENEGAKAN HUKUM YANG SISTEMIK

 

“Tanpa budi pekerti yang luhur, para ahli hukum hanya akan menjadi monster dari pada malaikat penolong“ (Geery Spence).  Aparat penegak hukum saat ini menjadi sorotan utama masyarakat karena  belum bisa tampil seperti yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu perlu dicari solusi agar harapan masyarakat tersebut bisa segera terwujud. Ada banyak faktor yang menyebabkan kondisi yang demikian, diantaranya adalah masih kurangnya profesionalisme dan rendahnya mentalitas aparat penegak hukum. Penegakan hukum pada dasarnya merupakan konsekuensi atas pilihan Negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Penegakan Hukum (law enforcement) mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum melalui prosedur hukum. Hal terpenting dalam penegakan hukum sesungguhnya adalah pencapaian atas  tujuan hukum yang meliputi: kepastian hukum (rechtszeherheid), kemanfaatan (rechtsmatigheid) dan keadilan (gerichtigheid). Upaya mencapai ketiga tujuan hukum perlu dipahami dan dikembangkan dalam satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan (legal structure), elemen materi hukum (legal sustance), dan elemen budaya hukum (legal culture) sebagaimana dimaksud oleh Friedmen. Dari pendekatan kesisteman tersebut bisa terlihat bahwa saat ini, permasalahan utama dalam penegakan hukum yang dihadapi adalah  rendahnya profesionalisme dan mentalitas aparat penegak hukum di mata masyarakat, disamping kurang harmonisnya peraturan perUndang-Undangan, kurangnya fasilitas (sarana dan prasarana) yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum, serta kurangnya kesadaran hukum, masyarakat. Peningkatan profesionalisme dan mentalitas aparat penegak hukum merupakan persoalan yang cukup kompeks. Pembenahan mentalitas ini perlu dilakukan sejak dini, bahkan sebelum memasuki perkuliahan di Fakultas hukum. Jika ditarik lebih ke belakang, persoalan mendasar di bidang hukum adalah memang masalah pendidikan hukum. Penegakan hukum tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila insan-insan hukum untuk menegakkan hukum dan keadilan tidak diajari dan dibekali ilmu dengan baik. Sistem pembelajaran yang berlangsung pada lembaga-lembaga pendidikan hukum tidak seharusnya sekedar bersifat transfer pengetahuan (transfer of knowledge) belaka dan berorientasi positivistik. Sistem pembelajaran yang demikian memiliki kecenderungan untuk mencetak tukang (legal mechanics) dan tidak membentuk perilaku calon insan-insan hukum yang memiliki integritas diri yang adil, jujur, dan humanis. Sistem pembelajaran hukum harus mampu mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban pada tingkatan sosial yang berbeda. Secara umum pendidikan pada level individu, membantu mengembangkan potensi dirinya menjadi manusia yang berakhlak mulia, berwatak, cerdas, kreatif, sehat, estetis serta mampu melakukan sosialisasi dan transformasi, dari manusia pemain menjadi manusia pekerja dan dari manusia pekerja menjadi manusia pemikir. Pembelajaran hukum diharapkan juga melahirkan kemampuan individu untuk  menghargai dan menghormati adanya perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka dan demokratis. Dengan demikian semakin banyak orang yang terdidik baik, maka semakin dapat dijamin adanya toleransi dan kerjasama antar budaya dalam suasana yang demokratis, yang pada gilirannya akan membentuk integrasi budaya nasional dan regional dari sini jelas terlihat peranan pendidikan terhadap perkembangan kebudayaan. Pembelajaran hukum sebaiknya tidak hanya ditujukan untuk mempersiapkan orang-orang yang memiliki profesionalisme dan kemahiran untuk menerapkan hukum yang ada, serta berguna dalam memelihara ketertiban menurut ketentuan-ketentuan hukum positif yang ada. Tetapi lebih jauh dari itu, pendidikan di fakultas hukum juga harus mampu menciptakan masyarakat yang dikehendaki melalui teknik hukum dan perUndang-Undangan yang mengarah kepada profesionalisme sekaligus tidak tercerabut dari nilai-nilai budaya dan memiliki integritas moral. Dengan demikian  pendidikan hukum akan memberikan kontribusi yang lebih baik bagi pembentukan sistem hukum di Indonesia. Seperti halnya pendapat Geery Spence: “sebelum menjadi ahli hukum profesional, jadilah manusia berbudi luhur (evolved person) lebih dulu. Kalau tidak, para ahli hukum hanya akan menjadi monster dari pada malaikat penolong. “ Hal ini terkait erat dengan kesadaran dan budaya hukum masyarakat. Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan (Scholten, 1954: 166). Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum (Lemaire, 1952; 46). Bahkan Krabbe mengatakan bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum (v. Apeldoorn, 1954: 9). Dengan demikian hukum harus memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang, sehingga Undang-Undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan kehilangan kekuatan mengikat. Setidak-tidaknya terdapat dua aspek dalam konsep budaya hukum, yaitu aspek nilai (value) dan sikap (attitude). Kedua aspek tersebut terjalin secara erat dan menentukan satu dengan lainnya, artinya aspek nilai yang dianut oleh seseorang atau kelompok orang akan sangat menentukan sikap seseorang atau kelompok orang akan sangat menentukan sikap seseorang atau sikap kelompok orang tersebut. Kedua aspek itu merupakan indikator dari budaya hukum, artinya dengan mengetahui nilai sikap masyarakat terhadap hukum maka dapat diketahui keadaan budaya hukum dari masyarakat tersebut. Membangun budaya hukum masyarakat merupakan bagian dari upaya nation character-building yang dimulai sejak kita masih berupa janin di dalam kandungan sampai saat kita menutup usia. Dengan demikian penegakan hukum akan mampu menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup dalam mewujudkan the rule of law. Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang.  Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-Undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Usaha untuk mewujudkan gagasan ini jelas bukan hal yang gampang. Usaha-usaha tersebut mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan dan pandangan kelompok-kelompok sosial, terutama kelompok sosial yang paling dominan. Itu berarti seberapa jauh gagasan negara hukum yang domokratis dan berkeadilan sosial itu hendak diwujudkan sangat tergantung pada hasil interaksi politik di antara kelompok-kelompok sosial-politik yang ada dalam masyarakat.

Sumber: Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H.

(Kasubid Penyusunan Program dan Laporan Puslitbang BPHN)  

 
Kembali lagi ke atas
Visit InfoServe for Blogger backgrounds.