===== fiat justitia et pereat mundus =====

Selasa, 11 Januari 2011

Rezijm Badut

 

Dilantiknya Walikota Tomohon Jefferson Soleiman Rumajar membawa arah pemberantasan korupsi di negeri ini bagaikan panggung lawakan. Ia menjadi cermin buruknya hukum di Indonesia. Jefferson adalah terdakwa kasus korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah sebesar Rp19,8 miliar, tapi tetap dilantik menjadi Walikota. Bagaimana tidak, terdakwa korupsi bisa dengan bangganya dilantik dan disumpah oleh Gubernur Sulut yang difasilitasi Mendagri. Kemudian dengan tidak tahu malu melantik 28 pejabat eselon Tomohon di LP Cipinang. Sungguh ironis, para pejabat yang diambil sumpahnya itu menyatakan untuk tidak melanggar sumpah jabatan, termasuk korupsi. Namun, pejabat yang melantik justru terpidana korupsi. Ada apa dengan Negara ini? Bagaimana seorang koruptor dengan leluasanya menginjak-injak tatanan Negara?  Mereka bersembunyi pada hukum positif (undang-undang) karena tidak mengatur tentang terdakwa untuk mencalonkan diri dalam pilkada, tetapi hanya mengatur tentang syarat bahwa ybs tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 58 huruf f UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jadi secara teknis yuridis tidak diatur tetapi kepatutan dan kepantasannya menyakiti rasa keadilan masyarakat.


Yakinlah bahwa, seharusnya tidak perlu bersusah payah melantik dan menyumpah walikota tomohon, karena walaupun disumpah sekalipun, dia pasti akan juga dengan sendirinya melanggar sumpah itu dengan korupsi. Mungkin ini juga berlaku bagi pimpinan lainnya baik pusat atau daerah, tidak perlu disumpah saja karena yang pasti mereka dengan sendirinya juga melanggar sumpah-sumpah mereka. Kalau tidak salah, seperti lagunya Dewi Yull, terdapat lirik “lain di bibir, lain di hati”.

Bahwa fakta politik sekarang ini menunjukkan anomali-anomali praktek ketatanegaraan yang cenderung melanggar kaidah-kaidah moral dan hukum yang dibangun sejak berdirinya Negara ini oleh pendahulu kita.Tata nilai atau etika atau kepantasan tidak dijunjung tinggi, akibatnya memunculkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang melukai hati rasa keadilan rakyat. Seharusnya sebagai penguasa yang mengerti hukum, tidak mengabaikan fakta akan moralitas yang ada dikehidupan masyarakat. Jadi jangan hanya melulu menggunakan hukum positif sebagai landasan utama dalam membuat kebijakan.

Mengenai terdakwa bisa mengendalikan roda pemerintahan di penjara memunculkan tanda Tanya besar, karena seharusnya pejabat itu tidak boleh melakukan kebijakan-kebijakan strategis dalam kondisi sebagai terdakwa yang yang tentunya memiliki keterbatas antara ruang dan waktu. Sedangkan hak-hak terdakwa semua diatur dalam UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68, dimana jika diteliti lebih lanjut tidak ada ketentuan mengenai hak-hak seperti yang didapatkan oleh Walikota Tomohon  untuk dilantik dan melakukan kebijakan strategis melantik pejabatnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa di dalam undang-undang terdapat hak yang bernama “pistole”, yaitu hak untuk meringankan nasib bagi narapidana yang dijatuhi pidana kurungan dengan biaya sendiri, berdasarkan undang-undang. Hak-hak itu antara lain berupa tempat menginap, tempat tidur dan makanan dengan ongkos sendiri yang lebih baik dibandingkan di dalam lingkungan rumah penjara sendiri. Jadi apa yang didapatkan oleh walikota itu sudah melebihi batas apa yang seharusnya menjadi hak-haknya sebagai terdakwa kasus korupsi yang ancaman pidana 5 tahun atau lebih.

Pertanyaan besar menggelanyuti pikiran penulis. Pertama, yang memiliki kewenangan terhadap terdakwa adalah penuntut umum. Dalam hal ini dalam pengadilan Tipikor yang menjadi penyidik sekaligus penuntut umum dalam persidangan Tipikor adalah Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK). Lalu kenapa KPK bisa-bisanya kok mengijinkan seorang koruptor mendapatkan keistimewaan yang begitu besar? Memang dalam ilmu hukum kita mengenal dengan adanya asas praduga tidak bersalah. Tapi logikanya, tidak mungkin seorang yang diseret ke pengadilan penyidik tidak memilki bukti-bukti material yang kuat yang nantinya dibuktikan di pengadilan, apalagi sekaliber KPK.

Alasan penahanan terhadap terdakwa tertuang dalam pasal 21 KUHAP. Dimana dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP menyebutkan: 'Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.' Ketentuan ini disebut sebagai syarat subyektif penahanan. Berikutnya, syarat formal yang tercantum dalam pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP. 'Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.' Syarat terakhir adalah syarat obyektif sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP. 'Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.'

Jadi apa yang dilakukan oleh KPK dengan pemberian ijin tersebut berlawanan dengan apa yang sudah digariskan dalam peraturan perundang-undangan karena terdakwa dibatasi hak-haknya menyangkut perkara yang sedang dihadapinya. Mending sekalian walikota tomohon tsb tidak usah ditahan kalau memang tidak cukup bukti, daripada membuat dagelan yang tidak lucu ini. Lalu .dimana pak Busyro, ayo pak jangan loyo, banyak orang bilang anda idealis? Jangan perlakukan KPK seperti waktu anda mengelola Komisi Yudisial yang miskin dan cekak prestasi. Penulis heran sekali, apa sulitnya menciduk para hakim nakal. Hampir semua hakim di negeri ini tidak nakal lagi tapi sudah jadi hakim maling. Terbukti dari Rangkaian Survei Opini Publik Nasional oleh rilis terbaru Lembaga Survey Indonesia (LSI) tanggal 10 -22 Oktober 2010. Bahwa survei tersebut menghasilkan kesimpulan terjadinya ketidakpercayaan publik pada Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Survey tersebut dilakukan terhadap 1.824 responden dari Aceh sampai Papua (seluruh Indonesia) yang mengatakan Polisi, Jaksa, dan Hakim dinilai tidak punya integritas. Mereka dipercaya korup dan tidak kebal dari suap.

Kedua, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), kenapa KPU bisa meloloskan incumbent yang terindikasi korupsi diijinkan nyalon lagi? Padahal sebelumnya diberitakan bahwa walikota ybs tersandung perkara korupsi. Proses demokrasi yang sedang dilakoni bangsa ini hanya semu belaka. Tidak digerakkan oleh motif-motif semangat demokrasi, tetapi hanya digerakkan motif pragmatis individu-individu atau kelompok tertentu, misalnya, siapa yang punya duit maka bisa dipastikan calon ybs bisa ikut nyalon bahkan memungkinkan kemenangan berdasarkan modal yang digelontorkan untuk kampanye. Dan jumlahnya pun juga tidak sedikit dan tidak masuk akal hanya untuk sekedar nyalon, sehingga dalam setiap pencalonan baik itu kepala daerah atau anggota dewan bahkan kepala desa pun membutuhkan biaya (cost) uang yang tinggi. Bahkan ada anekdot bahwa perekonomian Indonesia dewasa ini bukan karena kehebatan/prestasi SBY dalam memanage perekonomian nasional, tetapi digerakkan oleh banyaknya pilkadal-pilkadal di berbagai daerah karena banyaknya uang yang beredar. Akibatnya, sesuai dengan hukum ekonomi yang berlaku berbanding lurus terhadap keluarnya modal bahwa harus cepat balik modal, belum lagi hitungan keuntungannya. Hasilnya adalah pembangunan infrastruktur di daerah kondisinya memprihatinkan, jalan banyak yang rusak, rakyat lah yang pasti dirugikan. Sungguh ironis…

Jika ditelusuri lebih jauh lagi terdapat masalah dalam legislasi nasional dimana pembuat undang-undang memberikan celah-celah yang memang bisa dimanfaatkan oleh orang atau kelompok yang berniat maling dalam memutar balikkan peraturan perundang-undangan. Padahal biaya membuat undang-undang memerlukan biaya yang tidak sedikit, tapi mereka pembuat undang-undang tahu atau pura-pura tidak tahu memberikan celah khusus bagi calon koruptor. Oleh karena itu, demi keberlangsungan Negara ini, diperlukan perubahan terhadap undang-undang khususnya undang-undang tentang pemilihan umum.

Pemerintahan SBY tidak mempan lagi terhadap kritik-kritik rakyat. Karena kritik tidak mempan, rakyat mengolok-olok, menyindir dengan bahasa halus sampai yang kasar, masih tetap saja pemerintah ndableg. Negara lelucon, pimpinan yang lucu ginuk-ginuk, hasilnyapun juga lelucon.

Sesuai dengan sindiran buya Syafii Maarif, “Kenapa heran? Ini kan negeri yang penuh lelucon. Bukannya hal biasa yang seperti ini? Di negeri ini, di republik ini, tidak ada yang serius. Jadi kultur kepura-puraan perlu dilawan dan diakhiri bila negeri ini mau bertahan lama,".

Menurut penulis, negara kita sekarang sudah tidak menganut sistem Negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tetapi sekarang Negara kita menganut sistem Negara KLEPTOKRASI (alias pemerintahan maling) karena menjunjung tinggi nilai-nilai korupsi sebagai pegangan bernegara. Sehingga tidak heran jika Negara kita sering diganjar  berbagai bencana alam karena Negara kita tidak dirahmati karena pimpinannya tidak dirahmati. Mengutip pernyataan mantan presiden Habibie bahwa pemimpin itu seperti mata air yang bening, maka apabila mata airnya keruh maka bawahannya juga keruh-keruh alias butek. Terlihat sekali sekarang  Negara dalam situasi tidak berwibawa. Pengelolaan Negara payah, mereka para pengikut SBY  kelihatan sekali hanya berambisi memperpanjang rezim saja, akibatnya mereka melupakan janji-janji manis ketika berkampanye. Kata Pak Amin, pemerintahan SBY menuju orde baru jilid 2. Menjadi klop ketika banyak survey-survey tentang ketidak puasan rakyat kepada pemerintahan.

 


Oleh: Agung D. Sujono, SH.

 
Kembali lagi ke atas
Visit InfoServe for Blogger backgrounds.