===== fiat justitia et pereat mundus =====

Senin, 24 Januari 2011

MENGUKUR VONIS GAYUS (Seri Mafia Pajak)

Vonis 7 (tujuh) tahun penjara kepada Gayus Tambunan, pegawai Dirjen Pajak yang didakwa malakukan korupsi dan suap sangat mengagetkan rakyat Indonesia. Rakyat kecewa, protes dan mempertanyakan putusan itu. Vonis itu sendiri 13 tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman penjara 20 tahun. Vonis ini memang sangat jauh dari ekspektasi atau harapan masyarakat secara umum, yang menginginkan hukuman berat bagi para koruptor, paling tidak 20 tahun atau seumur hidup. Masyarakat kemudian membandingkan dengan hukuman untuk para koruptor di negeri tirai bambu yakni hukuman mati.


Apa yang selama ini diberitakan setiap hari oleh media massa ternyata tak tergambar di dalam ruang persidangan. Dari besarnya gambaran mafia pajak dan mafia hukum yang dilakoni Gayus, ternyata hanya sedikit saja yang diperdebatkan di dalam ruang persidangan. Alhasil, memang terjadi kesenjangan antara diskusi di luar dan fakta yang ada di dalam persidangan.

Selama proses hukum mulai dari penangkapan Gayus di Singapura sampai dengan kaburnya Gayus ke Bali yang kemudian juga diketahui melancong ke Luar Negeri dengan Pasport atas nama Sony Laksono dan sampai yang terakhir kepemilikan passport Negara Guyana atas nama Yosep Moris dengan foto diri Gayus Tambunan terpampang sangat jelas. Ditambah lagi cerita-cerita heboh dari para pihak yang ikut bertanggungjawab atas sepak terjang Gayus yang melibatkan banyak instansi yang ditengarai terlibat memuluskan petualangan Gayus dalam jaring mafia hukum di Indonesia.

Tetapi mengapa vonis Gayus hanya 7 tahun penjara? Apa yang menjadi dasar hukum Majelis Hakim memvonis Gayus 7 tahun penjara?

Penulis memahami berbagai komentar-komentar miring terhadap vonis Majelis Hakim tersebut. Vonis yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat dibandingkan bagaimana arogansi hukum yang diperlihatkan ke hadapan rakyat kecil yang menderita, secara jelas diperlihatkan secara telanjang oleh aparat-aparat penegak hukum bangsanya sendiri.

Seperti tragedy hukum terhadap Basar Suyanto dan Kholil yang didakwa hanya karena mencuri semangka di Pengadilan Negeri Kediri. Bagaimana Minah, seorang nenek 7 cucu dan buta huruf yang berusia 55 tahun di Banyumas, Jawa Tengah harus menerima kenyataan pahit gara-gara mencuri tiga buah kakao senilai tak lebih dari Rp 2.100 milik PT Rumpun Sari Antan, ia harus bolak-balik diperiksa polisi, jaksa, hingga pengadilan. Bahkan jaksa tanpa sungkan menetapkan Minah sebagai tahanan rumah.

Di luar itu semua, kasus yang paling menyedot perhatian banyak kalangan tak lain adalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari. Kasus yang bermula dari e-mail Prita menyangkut pelayanan Rumah Sakit Omni International ini dijadikan momentum perlawanan masyarakat atas ketidakadilan aparat penegak hukum. Apalagi, ibu dua anak itu dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilai kontroversial. Prita juga sempat mendekam di bui selama 21 hari, meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil.

Itu semua hanya akan memancing amarah rakyat terhadap sistem hukum di Negara ini. Sistem hukum yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan yang berduit, sedangkan yang lain hanya bisa menanti dengan harap-harap cemas jika suatu saat tersandung masalah hukum.

Kembali ke  fenomena Gayus, terlepas dari memperdebatkan putusan hakim, barangkali kita memang lupa apa yang didakwakan kepada Gayus. Jaksa mendakwa Gayus dengan empat pasal berlapis. Pertama, Gayus dijerat dengan pasal 3 Jo Pasal 18 undang-undang tindak pidana korupsi. Dia diduga memperkaya diri sendiri. Gayus telah merugikan keuangan negara sebesar RP 570.952.000, terkait penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal Sidoarjo. Kedua, Gayus dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1. Dia dituding menyuap penyidik Mabes Polri M Arafat Enanie, Sri Sumartini, dan Mardiyani. Ketiga, Gayus dijerat pasal 6 ayat 1 undang-undang tindak pidana korupsi karena telah memberikan sejumlah uang sebesar 40.000 dolar AS kepada Hakim Muhtadi Asnun, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang. Keempat, Gayus dijerat dengan pasal 22 Jo pasal 28 Undang-undang tindak pidana korupsi. Gayus didakwa telah dengan sengaja memberi keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan.

Jelaslah, bahwa dari dakwaan ini memang tidak tergambar besarnya korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan, sehingga majelis hakim-pun barangkali bisa dinilai wajar jika menjatuhkan hukuman hanya 7 tahun penjara.

Seperti yang dikutip dari Tribunnews.com, Albertina Ho, ketua majelis hakim, mengatakan, pihaknya telah mempertimbangkan dari segala segi, baik kepentingan masyarakat, negara, maupun terdakwa. Pihaknya, kata dia, tidak hanya mempertimbangkan apa yang timbul dalam masyarakat akibat perbuatan terdakwa. Tapi juga peran terdakwa dalam terjadinya tindak pidana. Dikatakan Albertina, Gayus tidak bertanggung jawab sendirian terkait kelalaiannya saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (PT SAT) di Direktorat Jenderal Pajak. Menurut hakim, atasan Gayus secara berjenjang seharusnya mengoreksi usul Gayus untuk menerima keberatan pajak PT SAT. Begitu pula perihal rekayasa kasus penyidikan asal-usul uang Rp 28 miliar yang berujung pada vonis bebas Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang. Menurut hakim, kasus itu menjadi tanggung jawab bersama dengan para terdakwa lain, yakni Kompol Arafat Enanie, AKP Sri Sumartini, Haposan Hutagalung, Lambertus Palang Ama, Andy Kosasih, dan Muhtadi Asnun. Terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi soal uang Rp 28 miliar di rekening Gayus, kata Albertina, hakim tidak dapat menghukumnya lantaran tidak ada dalam dakwaan dan belum dibuktikan di persidangan.

Hal-hal yang meringankan lain, majelis menilai Gayus memberikan keterangan yang jujur dalam hal-hal tertentu sehingga memperlancar jalannya persidangan. Selain itu, Gayus belum pernah dihukum, dan mempunyai anak-anak yang masih kecil yang memerlukan perhatian dan kasih sayang. Relatif masih berusia muda dan diharapkan dapat memperbaiki kelakuan di kemudian hari.

Adapun hal yang memberatkan Gayus, menurut hakim, perbuatan Gayus bertentangan dengan program pemerintah dalam penyelenggaran negara yang bersih dan bebas dari KKN. Perbuatan terdakwa sebagai pegawai negeri sipil pada Ditjen Pajak menghambat pemasukan pajak yang sangat diperlukan untuk pembangunan nasional.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (1), “pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara”.

Kemudian Pasal 3, “pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Lalu Pasal 21, “pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi”. Serta, pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

Bahwa berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, muncul sebuah pertanyaan, bagaimana dasar hukum Majelis Hakim bisa memberi vonis berjumlah 7 tahun penjara kepada Gayus? Dalam hal ini, Penulis ingin menyoroti bagaimana seorang hakim dalam memberikan vonis terhadap terdakwa. Jelas sekali angka vonis 7 terhadap Gayus berdasarkan “pertimbangan-pertimbangan” Hakim semata. Hal ini terkait erat dengan “kebebasan hakim” dalam bertindak dan memutus nasib terdakwa.

Mengutip dari tulisan Saudara Drs. M. Sofyan Lubis, SH. (dari LHS & Partners), pengertian “kebebasan hakim” dalam mengadili dan memutus suatu perkara secara limitatif telah dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, Jo. Pasal 4 ayat (3) Jo. Pasal 16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Cuma prinsip rule of the law dalam praktiknya sangat dipengaruhi pada cara, sifat, sikap dan suasana kebebasan para hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.

Hakim lebih banyak menggunakan practical reason yang erat hubungannya dengan latar belakang masing-masing hakim bersangkutan. Apalagi dalam praktik, banyak hakim dalam kebebasannya memutus perkara selalu dipengaruhi oleh beberapa atribut yang selalu menjadi kerangka acuannya, antara lain hakim tidak bisa hanya berpegang pada prinsip legalitas saja (homo yuridicus), karena juga harus mendasari pada ethical principle atau keutamaan moral (homo ethicus) maupun keutamaan lainnya seperti keutamaan teological (homo religious).

Sedang pemahaman tentang kebebasan hakim adalah, jika seorang hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, bebas dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, serta bebas dari segala pengaruh pihak luar yang dapat merubah keyakinannya tentang rasa keadilan yang dimilikinya.

Dalam konteks vonis Gayus, Hakim sebaliknya tidak bisa memperlihatkan dan memanfaatkan “kebebasannya” dalam upaya menegakkan nilai-nilai moral dan keadilan yang berlaku di masyarakat dalam upaya memerangi tindak pidana korupsi yang semakin akut ini. Justru Hakim dalam hal ini menggunakan dan melihat hukum sebatas seperti kacamata kuda. Artinya Hakim tidak peka terhadap realitas yang terjadi di masyarakat, justru hanya terpancang kepada kaidah-kaidah hukum formal berdasarkan pasal-pasal perundang-undangan semata. Itupun di dalam undang-undang tidak ada ketentuan baku yang jelas terhadap delik pidana terhadap jumlah vonis yang harus diberikan kepada seorang Terdakwa. Masih terdapat pasal-pasal yang bisa dimanfaatkan oleh terdakwa korupsi. Kenapa harus 7 tahun? Kenapa tidak 10 tahun saja, 15 tahun atau bahkan seumur hidup?

Hakim semacam ini tidak kekurangan alasan untuk membenarkan yang salah dan/atau menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku hakim semacam ini tentu telah menempatkan peradilan dan hakim di atas hukum, dimana penyelesaian dan putusan yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan tetapi menurut selera dan kemauan hakim yang bersangkutan. Dan biasanya dalam konteks ini, hakim bersangkutan dalam memutus suatu perkara berdasarkan “pesan sponsor” yang telah menyuapnya. Sedangkan bagi pihak yang telah dikalahkan, hakim tersebut cukup menggunakan alasan klasik dan mengatakan, “kalau anda tidak puas dengan putusan kami, silakan anda melakukan upaya hukum” baik banding atau kasasi.

Suburnya praktik mafia peradilan di negeri ini, selalu bersumber dari bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Kalau dilihat adanya prinsip hukum yang mengatakan, Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya “putusan hakim harus dianggap benar” dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Prinsip ini telah menempatkan sang hakim sangat begitu penting dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Oleh karenanya kualitas keadilan dari setiap putusan yang dijatuhkan sang hakim sangat bergantung dari kualitas hubungan baiknya atau ketaqwaannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Apakah demikian kebanyakan dari para hakim yang dimiliki republik ini….?

Padahal, inti dari semua ini adalah bagaimana kita sebagai bangsa yang besar mampu menumpas bahaya laten korupsi yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini. Tidak ada kata pemaaf bagi seorang koruptor. Apakah dia itu seorang yang baik hati atau bahkan seorang bapak/ibu yang mempunyai anak. Semua harus dianggap sama. Ingat, korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu diperlukan suatu terobosan yang luar biasa pula dalam memerangi korupsi. Hukuman MATI adalah satu-satunya jalan bagi penegakan hukum di Negara ini.

 

Oleh: Agung D. Sujono, SH.

 
Kembali lagi ke atas
Visit InfoServe for Blogger backgrounds.