===== fiat justitia et pereat mundus =====

Jumat, 14 Januari 2011

Gayus Sang WHISTLEBLOWER

Duplik atau tanggapan yang dibacakan terdakwa mafia pajak dan hukum, Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (10/1), Gayus meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar dirinya dijadikan staf ahli Kapolri atau staf ahli Jaksa Agung atau staf ahli ketua KPK. Ia berjanji dalam waktu 2 tahun, Indonesia akan bersih dari korupsi. "Saya akan bantu untuk menangkap Big Fish, bukan hanya kakap, tapi juga hiu dan paus di seluruh bidang," Dalam dupliknya, Gayus mengganggap dirinya seperti ikan teri yang sengaja dikorbankan untuk ditangkap, sementara ikan-ikan besar dibiarkan.


Ada baiknya negara memberikan kepercayaan kepada Gayus. Lho kok bisa. Nanti banyak yang protes lho. Siapa sih yang mau percaya sama maling? Ya bisa lah, negara ini kan negara badut, kemarin terdakwa korupsi aja bisa dilantik jadi walikota. Kenapa penulis setuju kalau Gayus diangkat jadi penegak pemberantas korupsi? Rakyat sudah frustasi melihat pertunjukkan Gayus, dari awal tahun 2010 sampai sekarang masih belum ketemu benang merahnya. Sudah jelas sekali siapa yang bermain, siapa penjahat, siapa maling? Tahu sendirilah. Penulis juga yakin bahwa rakyat juga sangat mendukung sebab sekarang ini rakyat sudah putus asa kepada penegakan hukum di Indonesia.

Pernyataan Gayus di atas tidak lebih merupakan pelecehan kepada aparat penegak hukum alias “ngenyek”. Di Indonesia yang diperlukan bukan orang yang pintar, tapi orang yang jujur, yang punya komitmen dalam pemberantasan korupsi. Kalau perlu bedol desa para pejabatnya, karena semua sudah masuk ke dalam jaringan lingkar konspirasi korupsi.

Gayus juga menuding SBY sebenarnya juga tahu pemain-pemain kakap mafia pajak, tapi SBY tidak mau menindaknya. Padahal anak Taman Kanak-kanak (TK) saja tahu bahwa kasus Gayus sudah sangat-sangat transparan. Logikanya, seorang pegawai III A punya asset 100 M? terus Bosnya Gayus asetnya berapa? Kenapa SBY tidak panggil saja Kapolri, Jaksa Agung, jadikan kasus Gayus sebagai entry point dalam pemberantasan korupsi. Kalau perlu jadikan Gayus pahlawan, karena aparat sekarang juga sama keparatnya dengan para koruptor. Gitu aja kok repot. Kasih kesempatan kepada Gayus seperti film “catch me if you can” yang dibintangi Leonardo diCaprio. Yang menceritakan pengejaran terhadap penipu ulung yang kemudian ketika tertangkap diajak kerjasama oleh Polisi dalam mengungkap kejahatan penipuan lainnya.

Sebaliknya, para whistleblower seperti Gayus sering mendapatkan perlakuan tidak adil. Padahal, perlakukan tidak adil kepada Whislteblower merupakan tindakan kontradiktif dengan upaya dan proses penegakan hukum itu sendiri. Keberadaan Whistleblower sangat penting dan diperlukan, terutama untuk mengungkap kasus-kasus luar biasa yang sulit pembuktiannya. Whistleblower yang biasanya berasal dari orang dalam, dapat membantu dan mempermudah bagi aparat penegak hukum mengungkap secara tuntas kasus-kasus yang ditanganinya. Gayus Tambunan adalah orang yang banyak mengetahui tindak pidana yang sedang diproses oleh Dirjen Pajak, yang diduga merugikan keuangan negara sangat besar. Dan hanya dengan kesaksiannya, akan dapat diungkap kasus tersebut, dan uang negara diselamatkan. Peran besar Gayus dalam mengungkap kasus tersebut, ternyata tidak diimbangi dengan perlindungan yang memadai. Akhirnya hanya Gayus saja yang harus ditahan dan disidang, dengan tuduhan melakukan tindak pidana penggelapan pajak PT Surya Alam Tunggal. Selain itu, Gayus juga terjerat kasus rekening senilai Rp 28 miliar, kepemilikan uang pada sembilan safety box di tiga bank yang salah satunya senilai Rp 74 miliar serta kasus penyuapan petugas rutan Mako Brimob saat ia bepergian ke Nusa Dua, Bali. Dan oleh Jaksa Penuntut Umum Gayus dituntut selama 20 tahun penjara!!!

Pendakwaan terhadap Gayus membuat jera siapa saja untuk mengungkapkan kebenaran materiel dari suatu kasus kejahatan yang lebih besar sekalipun yang bersangkutan mengetahuinya, apalagi yang bersangkutan turut terlibat di dalam kejahatan tersebut. Pola pendakwaan tersebut juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 karena ketentuan pasal tersebut mewajibkan setiap Negara Pihak dalam Konvensi untuk melaksanakan dua kewajiban yang bersifat ”mandatory” (keharusan), yaitu: memberikan imunitas dari penuntutan atau membebaskan tersangka yang memberikan bantuan substansial (sangat kooperatif) dari dakwaan korupsi.

Merujuk kepada Pasal 37 Konvensi PBB tersebut jelas dan tegas bahwa pengertian ”perlindungan” (Protection) telah diartikan sangat luas, yaitu termasuk, ”membebaskan dari penuntutan” atau ”Mengurangi hukuman”. Pengertian ini melebihi apa yang dimaksud dengan isitlah, ”whistleblower” bagi saksi/pelapor yang hanya sebatas ”perlindungan fisik” saja, bukan perlindungan hukum nyata.

Keterangan Gayus yang dapat mengungkapkan kasus penggelapan pajak oleh Perusahaan Bakrie dengan jumlah yang fantastis dan merugikan secara nyata terhadap keuangan negara termasuk tindak pidana korupsi berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999, merupakan perbuatan kooperatif dan seharusnya telah diketahui dan disadari manfaatnya  bagi negara sehingga seharusnya  sejak awal memperoleh perlindungan hukum (bukan hanya perlindungan fisik) dari kepolisian atau kejaksaan.

Menurut JARINGAN ADVOKASI UNTUK WHISTLEBLOWER, umumnya dalam istilah bahasa Inggris, orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malapraktik atau korupsi disebut sebagai whistleblower. Orang yang bersiul, berceloteh, membocorkan atau mengungkapkan fakta terjadinya kejahatan, kekerasan atau pelanggaran disebut sebagai whistleblower atau seorang pengungkap fakta. Beberapa negara yang dianggap sudah mapan dalam mengatur whistlebower ini adalah Inggris (United Kingdom Model), Australia (Quensland: Australia Scheme), dan Amerika Serikat (United States Model). Walaupun beberapa negara lainnya juga sudah mempraktekkan perlindungan whistleblower tersebut. Untuk untuk contoh dibawah akan diberikan paparan dari Quensland: Australia Scheme.

Pengungkap fakta adalah orang-orang yang mengungkapkan perbuatan yang melanggar hukum, yang tidak pantas dan kelalaian yang mempengaruhi kepentingan umum; bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan umum; bahaya terhadap lingkungan (skema yang, demi kepentingan umum, memberi perlindungan khusus jika ada pengungkapan-pengungkapan tentang suatu perbuatan di sektor publik yang melanggar hukum, termasuk kelalaian, dan tidak pantas, atau suatu bahaya terhadap kesehatan atau keselamatan umum, atau bahaya terhadap lingkungan).

Perangkat yang paling umum digunakan oleh jaksa untuk mendapatkan kesaksian dari "orang dalam" dalam kasus-kasus korupsi publik dan kasus-kasus kompleks lainnya adalah kesepakatan kerjasama. Kesepakatan kerjasama biasanya dinegosiasikan sebagai bagian dari tawar-menawar (plea bargain), dimana si terdakwa harus terlebih dahulu mengaku bersalah atas satu atau lebih tindak kriminal, dan untuk mengambil semua pertanggungjawaban pidana. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, si terdakwa setuju untuk bekerjasama secara penuh dan sejujurnya dengan jaksa, termasuk mengungkapkan informasi dan menyediakan kesaksian di pengadilan. Jika terdakwa memberikan kerjasama yang jujur dan penting, jaksa setuju untuk memasukkan mosi sewaktu penjatuhan hukuman yang meminta hakim mengurangi hukuman terdakwa sebagai penghargaan atas kerjasama si terdakwa.

Penulis sangat yakin apabila Gayus diberikan hak-hak istimewa seperti di atas dimana yang bersangkutan dilindungi atau bahkan dibebaskan karena siulan-siulannya (whistleblower), maka dengan sendirinya pihak-pihak yang terlibat pasti tertangkap. Kenapa? Karena perkara Gayus sederhana sekali. Jika boleh meminjam istilah dalam bidang pemasaran yang sedang inn sekarang ini yaitu jaringan Multi Level Marketing alias MLM, korupsi di Indonesia bisa dikatakan Multi Level Korupsi alias MLK.  Jaringan korupsi sudah sangat mengakar, dari atas sampai bawah, dari Pusat sampai Daerah-daerah bahkan sampai ke Desa. Satu per satu dari Upline sampai ke pada Downline-downline nya yang terlibat akan disapu bersih oleh Ksatria Nasionalis Penegak Hukum (karena Koruptor bukan Nasionalis tapi Pengkhianat NKRI). Dari Jenderal, Menteri, Gubernur, Bupati, Kabid, sampai golongan pesuruh akan ditindak habis sampai ke akar-akarnya.

Tetapi sebaliknya, orang-orang seperti Gayus atau Susno justru akan menerima sederet ancaman pidana yang berat yang mungkin akan menjadi peringatan bagi para penegak hukum agar jangan sekali-kali mengusik ketenagan para koruptor. sebab, menurut Menkumham, Patrialis Akbar, koruptor di Indonesia terlalu banyak yang berarti dalam Pemilu akan menang suara mutlak.

Berbicara mengenai hubungan antara nasionalisme dengan korupsi memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Korupsi di Indonesia telah meluas dan tidak terkendali. Korupsi yang meluas dan tidak terkendali adalah bencana karena korupsi dapat menghancurkan negeri dan menyengsarakan rakyatnya. Korupsi dapat menyengsarakan rakyat karena koruptor yang menuai keuntungan dan manfaat dari korupsi, tetapi rakyatlah yang harus membayar apa yang dinikmati koruptor itu. Koruptor mengambil kekayaan atau kesempatan yang seharusnya dapat dipergunakan untuk memakmurkan kehidupan rakyat. Korupsi dapat menghambat pembangunan dan perkembangan kegiatan usaha di Indonesia. Akibat korupsi, Indonesia mengalami krisis ekonomi berkepanjangan, pembangunan dan perkembangan kegiatan usaha terhambat, penderitaan dimana-mana, dan ketidakpastian akan masa depan. Jadi koruptor adalah pengkhianat bangsa.

Penulis juga ingin menggarisbawahi bahwa celotehan Gayus tidak lebih dari pengaruh Advokat/Pengacara dalam ikut serta penegakan keadilan di Indonesia, yaitu Bung Buyung Nasution. Beliau tidak hanya membela seorang Gayus sebagai “Klien” nya saja, tetapi Beliau ingin menunjukkan bagaimana hukum seharusnya ditegakkan, hukum sebagai panglima dalam menegakkan keadilan kepada seluruh masyarakat. Beliau sadar betul bagaimana pengacara sekarang ini dalam tahap kondisi frustasi karena hampir semua perkara yang ditangani selalu membentur tembok-tembok kekuasaan yang dibayangi-bayangi oleh “penguasa dunia yaitu “duit”. Selain itu Beliau juga sadar bahwa pengacara/advokat tidak mempunyai kekuasaan/wewenang dalam memutuskan nasib seseorang, tidak seperti penegak hukum yang lainnya, seperti hakim yang punya palu, jaksa punya hak menuntut, polisi selain punya hak menyelidik juga dilengkapi pistol. Diantara catur wangsa (Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara/Advokat), penegakan hukum di Indonesia hanya dapat diandalkan kepada Advokat/Pengacara karena sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri (independen), artinya pengacara/advokat tidak menerima gaji dari negara. Sehingga tidak ada alasan bagi Advokat/Pengacara seperti penegak hukum lainnya yang bekerja didasari kepentingan dan citra korps yang harus dijunjung tinggi. Faktanya, keterlibatan Jaksa Cyrus Sinaga, Brigjen Pol. Edmon Ilyas, dan  Brigjen. Pol Raja Erizman dalam konspirasi Gayus sampai sekarang ini masih disembunyikan oleh institusinya masing-masing.

 

Oleh: Agung D. Sujono, SH.

 
Kembali lagi ke atas
Visit InfoServe for Blogger backgrounds.